Sejarah
Kawasan Istana Bogor
Istana Bogor merupakan salah satu dari enam Istana Presiden Republik Indonesia yang mempunyai keunikan tersendiri
dikarenakan aspek historis, kebudayaan, dan faunanya.
Salah satunya adalah keberadaan rusa-rusa yang didatangkan langsung dari Nepal dan
tetap terjaga dari dulu sampai sekarang.
Saat ini sudah menjadi trend warga Bogor dan
sekitarnya setiap hari Sabtu, Minggu, dan hari libur lainnya berjalan-jalan di
seputaran Istana Bogor sambil memberi makan rusa-rusa indah yang hidup di
halaman Istana Bogor dengan wortel yang diperoleh dari petani-petani
tradisional warga Bogor yang selalu siap sedia menjajakan wortel-wortel
tersebut setiap hari libur. Seperti namanya, istana ini terletak di Bogor, Jawa Barat.
Sekarang Istana Bogor digunakan sebagai
tempat kediaman Presiden Joko Widodo sekaligus digunakan untuk menyambut tamu
dari negara lain. Namun khalayak umum diperbolehkan mengunjungi secara
rombongan, dengan sebelumnya meminta izin ke Sekretaris Negara, c.q. Kepala
Rumah Tangga Kepresidenan.
Istana Bogor
berada di kawasan Kebun Raya Bogor. Kebun Raya Bogor pada mulanya merupakan
bagian dari 'samida' (hutan buatan atau taman buatan) yang setidaknya telah ada
pada pemerintahan Sri Baduga Maharaja (Prabu
Siliwangi, 1474-1513) dari Kerajaan Sunda, sebagaimana tertulis dalam prasasti Batutulis. Hutan
buatan itu ditujukan untuk keperluan menjaga kelestarian lingkungan sebagai
tempat memelihara benih benih kayu yang langka. Di samping samida itu dibuat
pula samida yang serupa di perbatasan Cianjur dengan Bogor (Hutan Ciung
Wanara). Hutan ini kemudian dibiarkan setelah Kerajaan Sunda takluk dari Kesultanan Banten, hingga Gubernur Jenderal van der Capellen membangun rumah peristirahatan di salah
satu sudutnya pada pertengahan abad ke-18.
Pada awal 1800-an Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles,
yang mendiami Istana Bogor dan memiliki minat besar
dalam botani, tertarik mengembangkan halaman Istana Bogor menjadi sebuah kebun
yang cantik. Dengan bantuan para ahli botani, W. Kent, yang ikut
membangun Kew Garden di London, Raffles menyulap halaman istana menjadi taman bergaya
Inggris klasik. Inilah awal mula Kebun Raya Bogor dalam bentuknya sekarang.
Pada tahun 1814 Olivia
Raffles (istri dari Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles)
meninggal dunia karena sakit dan dimakamkan di Batavia. Sebagai pengabadian, monumen untuknya didirikan di
Kebun Raya Bogor. Ide pendirian Kebun Raya bermula dari seorang ahli biologi
yaitu Abner yang menulis surat kepada Gubernur Jenderal G.A.G.Ph. van der Capellen.
Dalam surat itu terungkap keinginannya untuk meminta sebidang tanah yang akan
dijadikan kebun tumbuhan yang berguna, tempat pendidikan guru, dan koleksi
tumbuhan bagi pengembangan kebun-kebun yang lain.
Prof. Caspar Georg Karl Reinwardt adalah
seseorang berkebangsaan Jerman yang berpindah ke Belanda dan
menjadi ilmuwan botani dan kimia. Ia lalu diangkat menjadi menteri bidang
pertanian, seni, dan ilmu pengetahuan di Jawa dan
sekitarnya. Ia tertarik menyelidiki berbagai tanaman yang digunakan untuk
pengobatan. Ia memutuskan untuk mengumpulkan semua tanaman ini di sebuah kebun
botani di Kota Bogor, yang saat itu disebut Buitenzorg (dari bahasa Belanda yang berarti "tidak perlu
khawatir"). Reinwardt juga menjadi perintis di bidang pembuatan herbarium.
Ia kemudian dikenal sebagai seorang pendiri Herbarium
Bogoriense.
Pada tahun 18 Mei 1817, Gubernur Jenderal Godert
Alexander Gerard Philip van der Capellen secara resmi
mendirikan Kebun Raya Bogor dengan nama ’s Lands Plantentuin te
Buitenzorg. Pendiriannya diawali dengan menancapkan ayunan cangkul pertama
di bumi Pajajaransebagai pertanda dibangunnya pembangunan kebun itu,
yang pelaksanaannya dipimpin oleh Reinwardt sendiri, dibantu oleh James Hooper dan
W. Kent (dari Kebun Botani Kewyang
terkenal di Richmond, Inggris).
Sekitar 47 hektaree tanah di sekitar Istana Bogor dan bekas samida dijadikan lahan pertama
untuk kebun botani. Reinwardt menjadi pengarah pertamanya dari 1817 sampai 1822.
Kesempatan ini digunakannya untuk mengumpulkan tanaman dan benih dari bagian
lain Nusantara. Dengan segera Bogor menjadi pusat
pengembangan pertanian dan hortikulturadi Indonesia. Pada masa itu diperkirakan sekitar
900 tanaman hidup ditanam di kebun tersebut.
Pada tahun 1822 Reinwardt
kembali ke Belanda dan digantikan oleh Dr. Carl Ludwig Blume yang melakukan inventarisasi tanaman
koleksi yang tumbuh di kebun. Ia juga menyusun katalog kebun yang pertama
berhasil dicatat sebanyak 912 jenis (spesies) tanaman. Pelaksanaan pembangunan kebun ini pernah
terhenti karena kekurangan dana tetapi kemudian dirintis lagi oleh Johannes Elias Teysmann (1831),
seorang ahli kebun istana Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch.
Dengan dibantu oleh Justus Karl Hasskarl, ia
melakukan pengaturan penanaman tanaman koleksi dengan mengelompokkan menurut
suku (familia).
Teysmann kemudian digantikan oleh Dr. Rudolph Herman
Christiaan Carel Scheffer pada tahun 1867 menjadi
direktur, dan dilanjutkan kemudian oleh Prof. Dr. Melchior Treub. Pendirian Kebun Raya Bogor bisa dikatakan
mengawali perkembangan ilmu pengetahuan di Indonesia. Dari sini lahir beberapa institusi ilmu pengetahuan
lain, seperti Bibliotheca Bogoriensis (1842), Herbarium
Bogoriense (1844), Kebun Raya Cibodas (1860), Laboratorium
Treub (1884), dan Museum dan Laboratorium Zoologi (1894).
Pada tanggal 30 Mei 1868 Kebun Raya Bogor secara resmi
terpisah pengurusannya dengan halaman Istana Bogor. Pada mulanya kebun ini hanya akan digunakan
sebagai kebun percobaan bagi tanaman perkebunan yang akan diperkenalkan
ke Hindia Belanda (kini Indonesia). Namun pada perkembangannya juga digunakan sebagai
wadah penelitian ilmuwan pada zaman itu (1880 - 1905).
Kebun Raya Bogor selalu mengalami perkembangan yang
berarti di bawah kepemimpinan Dr. Carl Ludwig Blume (1822), JE. Teijsmann dan Dr. Hasskarl (zaman
Gubernur Jenderal Van den Bosch), J. E. Teijsmann dan Simon Binnendijk,
Dr. R.H.C.C. Scheffer (1867), Prof. Dr. Melchior Treub (1881), Dr. Jacob Christiaan Koningsberger (1904), Van den Hornett(1904),
dan Prof. Ir. Koestono
Setijowirjo (1949), yang merupakan orang Indonesia pertama yang
menjabat suatu pimpin lembaga penelitian yang bertaraf internasional.
Komentar
Posting Komentar